Pernah mengalami tindak kekerasan, tentu meninggalkan trauma, terutama pada anak-anak. Terlebih lagi, jika dilakukan oleh orang-orang terdekat. Melalui program resiliensi dan penguatan kapasitas anak, trauma itu secara perlahan bertransformasi menjadi harapan.
Hasil survei nasional yang dilakukan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2021 sungguh mengejutkan. Sebanyak 7.167 anak usia 13-17 tahun menjadi penyintas kekerasan, dengan beragam bentuk, mulai dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, hingga psikis, yang menimbulkan dampak trauma ringan hingga berat. Sebagai generasi yang kelak akan melanjutkan tongkat estafet negeri ini mereka perlu diselamatkan.
Layanan yang selama ini diberikan pada mereka adalah pengaduan, layanan kesehatan, dan bantuan hukum. KPPPA melalui Yayasan Cahaya Keluarga Fitrah bersama Pusat Studi Wanita LPPM Universitas Negeri Jakarta membuat terobosan baru, melalui program penguatan resiliensi dan penguatan kapasitas anak penyintas kekerasan.
Program ini didasarkan pada upaya untuk menyembuhkan trauma dan luka emosional yang dalam. Trauma pada anak tentu menyebabkan luka emosional yang dalam dan membekas lama. Kekerasan verbal maupun non verbal yang mereka terima dari keluarga, teman, atau orang dewasa lainnya akan menghantui kehidupan mereka.
Sebut saja seorang anak berinisial IB, ia mengalami trauma psikis yang cukup panjang akibat umpatan, pukulan, dan pengabaian yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. IB mengalami hal ini sejak berusia 2 tahun, ketika ayahnya berpisah dengan ibunya sampai usia 10 tahun ketika ayahnya mengambil IB dan tinggal bersama dengan ibu sambungnya.
IB sangat trauma dan memiliki ketakutan dalam melakukan hal apapun, mandi, makan, berjalan, semua ditakutinya, ia takut ada yang memukul atau memarahinya. IB bahkan takut bicara sampai ia diasumsikan mengalami speech delay.
IB adalah satu dari 34 anak penyintas kekerasan yang ditangani oleh Yayasan Keluarga Cahaya Fitrah bersama Pusat Studi Wanita LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Universitas Negeri Jakarta. Anak-anak penyintas ini dikelompokan ke dalam 5 klaster, yatu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.
Melalui serangkaian program, kegiatan ini terbagi menjadi beberapa tahapan, di antaranya pemetaan kebutuhan (need assessment), kegiatan pendampingan dan pelatihan yang difokuskan pada bakat minat anak, serta melakukan koordinasi dan chanelling dengan mitra terkait. Tidak hanya anak, orang tua atau wali anak pun diberikan penguatan melalui serangkaian kegiatan parenting.
Semua menyadari bahwa bertahan dalam trauma tentu bukan hal yang mudah. Daya tahan mental dan emosional adalah dua hal yang perlu dikuatkan. Keterlibatan para psikolog anak dan remaja pada program ini, memainkan peranan yang sangat penting. Melalui program pelatihan psikososial anak-anak dilatih untuk memiliki strategi koping yang efektif dan sehat, sehingga mampu bangkit dari trauma.
Proses yang sangat sistematis dan terstruktur ini dilakukan oleh para fasilitator yang sangat andal dan sepenuh hati, sehingga memiliki dampak yang kuat dan melekat pada diri anak-anak penyintas kekerasan.
Dalam kasus IB, meski perlahan, IB dan teman-temannya menunjukan perkembangan yang sangat berarti. Trauma panjang yang mereka rasakan pelan-pelan berubah menjadi harapan. Ketika Tim Pelaksana program ini mengunjungi IB di rumah ayahnya, IB menunjukan kemajuan yang sangat berarti. Meskipun belum maksimal dalam memberikan respons ketika diajak bicara, IB mulai menunjukan keberaniannya untuk sesekali menatap mata orang-orang yang berbicara dengannya. Sesekali IB merespons dan tertawa.
Memanusiakan, Mengakui Keberadaan.
Sesungguhnya, fondasi dasar program ini adalah memanusiakan dan mengakui keberadaan. Anak-anak penyintas diposisikan sebagai manusia seutuhnya yang berhak untuk diberikan dukungan, perhatian, dan kasih sayang. Apa yang mereka alami, divalidasi sebagai sebuah kenyataan yang tidak disangkal.
Hal inilah yang membuat anak-anak dan keluarga merasa nyaman dan menjadi mitra kerjasama yang membersamai proses tumbuh kembang anak secara maksimal. Hal ini terlihat dengan jelas melalui aktivitas komunikasi antara fasilitator dan orangtua.
Melalui program ini, anak-anak seolah memiliki teman bicara yang memberi mereka kepercayaan, sehingga dapat membangun jaringan komunikasi yang lebih luas dengan lingkungan kehidupan.
Shelja Sen, salah satu pendiri Children First yang juga penulis buku pernah mengatakan bahwa perlu satu desa untuk membesarkan seorang anak. Artinya, dibutuhkan satu ekosistem yang saling berkolaborasi untuk mendidik dan membesarkan seorang anak. Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan konsep Tripusat Pendidikan, dimana keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh dalam analogi segitiga sama sisi yang melambangkan keseimbangan peran.
Demikian juga dengan program ini. Selain memberikan pendampingan pada anak untuk keluar dari trauma, program ini juga memiliki tujuan besar, yaitu membangun ekosistem keluarga, kerabat, tetangga, sekolah, dan fasilitas publik. Masing-masing aspek memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga seorang anak. Untuk semakin menguatkan hal ini dilakukan juga program chanelling atau membangun kerja sama dengan berbagai lembaga dan organisasi sehingga program ini lebih komprehensif dan terintegrasi.
Pada prinsipnya program ini bertumpu pada dua kanal, yaitu soft skill dan hard skill. Ikhlasiah Dalimonthe (Tenaga Ahli Program Resilensi dan Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UNJ) mengatakan pelatihan soft skill anak-anak bertujuan untuk mengembalikan rasa percaya diri dan membuat mereka merasa berharga.
“Melalui pelatihan hard skill kita akan melihat dimana potensinya, hobinya, sehingga melalui dua hal tersebut kita bisa membangun konsep diri yang lebih berharga,” katanya.
Pernyataan ini semakin menguatkan, bahwa program ini telah berhasil mengubah trauma menjadi harapan. Kedepan diharapkan program-program serupa terus dilakukan secara berkelanjutan. Kolaborasi antara KPPPA dan Lembaga Mitra Cagar Foundation menjadi kekuatan dan energi untuk membantu mengantarkan anak-anak penyintas kekerasan menuju kehidupan humanis dan penuh harapan.
(Dr Yasnita,S.Pd.,M.Si. - Tenaga Ahli - Universitas Negeri Jakarta )
Contact Info :
Email : info.cagar@gmail.com
Website : cagarfoundation.org
Instagram : @cagarfoundation
Whatsapp : +62-812-1034-1364